A. PENDAHULUAN
Singkatan
(KKN) adalah salah satu singkatan yang akrab bagi masyarakat Indonesia. Sering
kalau ada protes anti-pemerintah, singkatan KKN ini didengar dan diteriakkan
oleh para demonstran atau ditulis di atas spanduk-spanduk. KKN ini mengacu ke
korupsi, kolusi dan nepotisme dan - yang banyak mencemaskan mayoritas penduduk
Indonesia - telah menjadi bagian intrinsik atau sudah mendarah-daging di
pemerintah Indonesia, mungkin mencapai puncaknya selama rezim Orde Baru
Presiden Suharto (1965-1998).
Masalah
korupsi politik di Indonesia terus menjadi berita utama (headline) hampir
setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan
diskusi sengit. Di kalangan akademik para cendekiawan telah secara
terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki
akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda,
pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia
yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian, jawaban tegas belum ditemukan.
Untuk sementara harus diterima bahwa korupsi terjadi dalam domain politik,
hukum dan korporasi di Indonesia.
B. FAKTA
Memasuki
akhir tahun 2016 kasus korupsi di indonesia semakin ramai bahkan semua orangpun
dapat melakukan korupsi. Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di Indonesia,
salah satunya penyuapan. Penyuapan tidak harus berupa uang tetapi dapat berupa
barang berharga, rujukan, hak-hak istimewa, ataupun tindakan yang dapat
membujuk seseorang dalam sebuah jabatan politik. Hal ini merupakan keserakahan
para pelaku dalam melakukan kasus korupsi. Jumlah kasus korupsi di
Indonesia terus meningkat. Kasus korupsi yang telah diputus oleh Mahkamah Agung
(MA) dari 2014-2015 sebanyak 803 kasus. Jumlah ini meningkat jauh dibanding
tahun sebelumnya.
Hasil
penelitian Laboratorium Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, mengungkap 803 kasus itu menjerat 967
terdakwa korupsi. Jika dikalkulasikan sejak tahun 2001 hingga 2015, kasus
korupsi yang telah diputus MA pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali mencapai
2.321 kasus. Di lain pihak, jumlah koruptor yang dihukum pada periode itu
mencapai 3.109. Jumlah tersebut meningkat drastis jika dibanding dengan data
pada 2001-2009. Pada saat itu, kasus korupsi yang telah diketahui berjumlah 549
dengan 831 terpidana. Penelitian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Gadjah Mada membuktikan korupsi di Indonesia terus meningkat.
Namun,
"Update di tahun 2014 seringkali berisi peningkatan putusan-putusan untuk
tahun sebelumnya," tutur para peneliti, Rimawan Pradiptyo, Timotius
Hendrik Partohap, dan Pramashavira dalam laporan penelitiannya. Sementara itu,
mayoritas pelaku korupsi adalah laki-laki. Mayoritas pelaku pun diputus
bersalah oleh pengadilan negeri hingga MA. Politikus dan swasta tercatat
sebagai pelaku terbesar untuk korupsi. Totalnya sekitar 1.420 terpidana.
Sedangkan jumlah pelaku korupsi pegawai negeri sipil (PNS) mencapai 1.115
terpidana.
Analisis
penelitian itu juga menyebutkan total nilai korupsi oleh politikus dan swasta
mencapai Rp 50,1 triliun. Selain itu, penyuapan merupakan modus korupsi yang
paling banyak dilakukan. Dari jenis korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), modus korupsi mencapai 242 atau sekitar 48 persen pada 2015.
C. OPINI
Masalah
korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama media massa
lokal dan nasional. Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas
dan telah menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran hukum
yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Di era demokrasi, korupsi akan
mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan ekonomi. Terlebih lagi
akhir-akhir ini terjadi perebutan kewenangan antara KPK dan Polri. Sebagai
institusi yang sama-sama menangani korupsi, seharusnya KPK dan Polri bisa
bekerja sama dalam memberantas korupsi. Tumpang tindih kewenangan seharusnya
tidak terjadi jika dapat dikoordinasikan secara baik.
Penyebab
terjadinya korupsipun bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi, yaitu
rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup
dan gaya hidup yang konsumtif, budaya memberi tips (uang pelicin), budaya malu
yang rendah, sanksi hukum lemah yang tidak mampu menimbulkan efek jera,
penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, dan
kurangnya pengawasan hukum.
Semakin
banyaknya kasus korupsi diharapkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) lebih
teliti dalam mengawasi para penguasa yang tidak bertanggung jawab tersebut. Jumlah kasus
korupsi di Indonesia terus meningkat. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu
waspada dalam menangulangi permasalahan ini. Korupsi adalah produk dari sikap
hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit
yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status
sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Akibat-akibat
dari korupsi antara lain gangguan terhadap penanaman modal, bantuan yang
lenyap, ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh
militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya, pengurangan kemampuan aparatur
pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Dalam menangani kasus
korupsi, yang harus disoroti adalah oknum pelaku dan hukum. Kasus korupsi
dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga membawa dampak
buruk pada nama instansi hingga pada pemerintah dan negara. Hukum bertujuan
untuk mengatur, dan tiap badan di pemerintahan telah memiliki kewenangan hukum
sesuai dengan perundangan yang ada. Namun, banyak terjadi tumpang tindih
kewenangan yang diakibatkan oleh banyaknya campur tangan politik buruk yang
dibawa oleh oknum perorangan maupun instansi. Penanganan kasus korupsi juga harus
mampu memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Tidak hanya demikian,
sebagai warga Indonesia kita wajib memiliki budaya malu yang tinggi agar segala
tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dapat diminimalisir.
Negara kita adalah negara
hukum. Semua warga negara Indonesia memiliki derajat dan perlakuan yang sama di
mata hukum. Maka dalam penindakan hukum bagi pelaku korupsi haruslah tidak
boleh pilih kasih, baik bagi pejabat ataupun masyarakat kecil. Korupsi
merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan sila kelima pancasila yang berbunyi
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Diperlukan sikap jeli
pemerintah dan masyarakat sebagai aktor inti penggerak demokrasi di Indonesia, terutama
dalam memilih para pejabat yang akan menjadi wakil rakyat. Tidak hanya itu,
semua elemen masyarakat juga berhak mengawasi dan melaporkan kepada institusi
terkait jika terindikasi adanya tindak pidana korupsi.
Sumber:(https://dimaswarning.wordpress.com/masalah-korupsi-di-indonesia-dan-solusinya/), (https://aldyreliandi.wordpress.com/2013/06/27/artikel-tentang-korupsi-di-indonesia-serta-cara-penanganannya/).http://www.kompasiana.com/liasuciati/ramainya-kasus-korupsi-di-indonesia_58480da75593732b09e07ba3
NAMA/NPM : LIA SUCIATI/ 1634030027
PRODI/ FAKULTAS : AKUNTANSI/ FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
MATKUL/ DOSEN : PANCASILA (PAGI B)/ Dr. Hotma P. Sibuea. S.H., M.H.